Sejarah mencatat, menjelang akhir abad 19, jumlah haji
Indonesia semakin banyak turut berperan melawan kolonialisme di Nusantara.
Pada tahun 1887, sekitar 43.000 desa di Indonesia telah memiliki 49.819
haji. Setidaknya ada satu haji tiap desanya. Sementara jumlah ulama mencapai
21.500 orang. Ini artinya, ada satu ulama di setiap dua desa.
Rupanya pemerintah kolonial melihat itu sebagai sebuah
bahaya. Beberapa pemberontakan ternyata dipimpin oleh pemimpin bergelar haji.
Misalnya pemberontakan petani Banten 1888. Setelah Banten, pemberontakan yang
terjadi di Cimareme, Garut tahun 1919, juga dipimpin seorang haji bernama
Hasan. Sejumlah pemimpin yang bergelar haji juga ada yang dibuang ke Boven
Digoel.
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tak tinggal diam. Semangat
ajaran Islam yang kemungkinan besar dibawa para haji itu harus ditangkal oleh
pemerintah kolonial. Seorang Orientalis pakar Islam Belanda, yang sudah naik
haji dan hafal Al-Qur'an, bernama Christiaan Snouck Hurgronje pun dipekerjakan.
Hurgronje merupakan penasihat pemerintah kolonial untuk
urusan Islam dan pribumi di Indonesia. Ia juga pernah jadi mata-mata Belanda
yang mencari cara mengalahkan orang-orang Aceh dalam Perang Aceh. Hurgronje
pernah memberi nasihat pada pemerintah kolonial, bahwa pendidikan Barat sangat
diperlukan untuk menangkal pengaruh Islam dari para haji. Itulah mengapa
kemudian pemerintah kolonial membangun banyak sekolah Belanda bagi anak-anak
pribumi.
Sekolah-sekolah itu tampaknya bermaksud mem-Barat-kan
orang-orang Indonesia. Beruntung, orang Islam di Indonesia punya orang macam
Kiai Haji Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah pada 1912. Dahlan berhasil
membuat sekolah yang mirip dengan sekolah Belanda.
Namun, ada ajaran Islam yang diajarkan bersama dengan
ilmu-ilmu modern. Sekolahnya punya meja dan kursi, tak lesehan seperti di
pesantren. Akhirnya muncul orang-orang Islam di perkotaan yang terdidik secara
modern.
KH Hasyim Asy’ari terus dengan model pendidikan pondok
pesantrennya. Pesantren juga akhirnya berkembang dengan memperluas kurikulum
pelajaran mereka yang tak hanya pada pelajaran agama Islam semata. Dari sini
ulama-ulama Indonesia meletakkan fondasi kemerdekaan lewat kecerdikan dan
kecendekiaan yang terus berupaya ditanamkan kepada generasi penerus bangsa
melalui lembaga pendidikan.
Dalam kondisi terjajah itu, keyakinan beragama rawan
terombang-ambing sehingga KH Hasyim Asy’ari kembali bertekad memperkuat akidah
dan syariat Islam kepada Muslim Nusantara yang terlebih dahulu sudah dilakukan
oleh Wali Songo. Tentu saja sembari berjuang melepaskan bangsa Indonesia dari
kungkungan penjajahan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia
dengan ilmu.
Dari sini KH Hasyim Asy’ari merupakan sosok ulama yang
terus mendorong rakyat untuk tekun belajar dan menuntut ilmu. Beliau belajar
dari pesantren satu ke pesantren lainnya. Tidak cukup menggali ilmu di dalam
negeri, beliau juga memperkuat keilmuannya dengan belajar di Tanah Hijaz,
Makkah.
Setelah beberapa tahun menuntut ilmu di Makkah, Muhammad
Asad Syihab dalam buku biografi KH Hasyim Asy’ari yang ditulisnya mencatat
bahwa Hadhratussyekh pulang ke Tanah Air tidak membawa gelar besar yang kosong,
tidak pula membawa harta dunia yang bertumpuk, namun kembali di dadanya ilmu
yang bermanfaat untuk diajarkan kepada warga dan anak negerinya, memberi
bimbingan dan pendidikan kepada mereka, dan menghidupi mereka dengan ruh Islam.
KH Hasyim Asy’ari berpesan: “Bangsa tidak akan jaya jika
warganya bodoh. Hanya dengan ilmu suatu bangsa menjadi baik.” (Muhammad Asad
Syihab, Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’arie: Perintis Kemerdekaan
Indonesia, terj. KH A Mustofa Bisri, 1994: 18)
Bukan hanya untuk tujuan memperkuat ilmu agama, tetapi
pendirian pondok pesantren itu juga untuk melawan ketidakperikemanusiaan
penjajah Belanda dan juga Nippon (Jepang). Sejarah mencatat, hanya kalangan
pesantren yang tidak mudah tunduk begitu saja di tangan penjajah. Dengan
perlawanan kulturalnya, Kiai Hasyim dan pesantrennya tidak pernah luput dari
spionase Belanda.
Langkah awal perlawanan kultural yang dilakukan oleh
pesantren menunjukkan bahwa pondok pesantren tidak hanya menjadi tempat menempa
ilmu agama, tetapi juga menjadi wadah pergerakan nasional hingga akhirnya
bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan hakiki secara lahir dan batin.
Kemerdekaan ini tentu hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Tetapi tentu
saja peran ulama pesantren sebagai motor, motivator, sekaligus negosiator tidak
bisa dielakkan begitu saja.
Asad Syihab mencatat, ketika menangani penataan pesantren,
Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari menghadapi banyak tantangan dan rintangan.
Kiai Hasyim Asy’ari dengan gigih menghadapi segala kesulitan dan hambatan dari
pihak pemerintah kolonial Hindia Belanda kala itu, yang hanya menginginkan kaum
Muslimin dalam posisi terbelakang sehingga tak bisa melakukan perlawanan
terhadap kolonialisme.
Berbagai upaya dilakukan oleh Belanda, termasuk melakukan
upaya kekerasan dengan menghancurkan pesantren. Untuk membenarkan tindakan
represifnya itu, Belanda berdalih dan menuduh bahwa pesantren merupakan wadah
perusuh, pemberontak, dan orang-orang Islam ekstrem. (Muhammad Asad Syihab,
1994: 19)
Tidak hanya itu, tindakan Belanda juga mengancam
keselamatan jiwa KH Hasyim Asy’ari sehingga para santri kala itu berupaya keras
menjaga keselamatan gurunya tersebut meskipun harus berhadapan dengan
bedil-bedil Belanda. Perlawanan Belanda surut. Tetapi upayanya tidak pernah
berhenti. Namun, kaum santri dan umat Islam semangatnya justru semakin
membuncah dalam membela tanah air dan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sumber : NU Online