Salah satu hal yang
paling mendasar yang tidak terbantahkan adalah bahwasannya setiap dari kita
selalu butuh dengan orang lain, kita harus menggandeng tangan orang lain, kita
tidak mungkin memenuhi segala kebutuhan kita seorang diri. Dengan kata lain, kodrat
manusia memang untuk hidup bermasyarakat, hidup berbangsa dan bernegara. Oleh
karenanya manusia disebut homo sosio atau makhluk sosial karena kita akan
berinteraksi dengan sesama, akan membangun kerjasama. Dengan bekerjasama,
banyak kepentingan bersama akan terwujud. Dengan bersama-sama, banyak
kemaslahatan bersama yang akan mudah diraih.
Dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, keberadaan tanah air
sangatlah penting. Karena tanah air adalah pusat mempersatukan bangsa dan
menjaga kebesaran Islam. Hadrotussyeikh Maimoen Zubair mengatakan: “Rasulullah
adalah sosok yang mencintai Arab sebagai negerinya, maka kita bangsa Indonesia
juga wajib mencintai negara kita dengan empat pilarnya, PBNU: Pancasila,
Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Kita harus menjunjung tinggi bangsa
Indonesia sebagaimana Rasulullah sendiri selalu menjunjung tinggi bangsa Arab”.
Inilah sikap panutan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang dicontoh
oleh para ulama-ulama bangsa ini, dan sikap seperti ini haruslah kita contoh.
Untuk hidup
damai, kita butuh tanah air yang aman. Untuk menjalankan ajaran Islam dengan
nyaman, kita butuh tanah air yang aman. Karena agama akan makmur jika berada di
tempat yang aman. Sebaliknya, agama akan sulit dikembangkan jika tanah air
tidak aman. Menjaga tanah air sejatinya adalah untuk menjaga agama. Maka untuk
menjaga tanah air, kita harus mencintai tanah air. Sebagaimana prinsip yang
dikenalkan oleh KH. Abd. Wahab Hasbulloh:
حب الوطن من الإيمان
Cinta tanah air adalah
sebagian dari iman
Sebagai
muslim, kita tidak perlu mempertentangkan hubungan agama dan negara. Para ulama
telah memiliki sikap yang jelas dalam menyikapi hubungan agama dan negara. Imam
Ghozali mengatakan dalam kitab Ihya’ Ulumiddin:
الملك و الدين توأمان فالدين أصل و
الملك حارس فما لا أصل له فمهدوم و ما لا حارس له فضائع
Negara dan agama
adalah dua hal yang tidak terpisahkan, keduanya saling membutuhkan. Agama
adalah pondasi, negara adalah penjaganya. Negara tanpa agama akan hancur, agama
tanpa negara akan sia-sia.
Indonesia
adalah tanah air, tanah air yang bisa menyatukan berbagai macam perbedaan.
Untuk hidup bersatu dalam perbedaan, kita butuh kesepakatan kebangsaan yang
kita hormati bersama. Indonesia bukanlah negara dengan satu suku, satu ras,
satu agama dan satu budaya. Indonesia adalah tempat dimana ratusan suku,
ratusan bahasa dan budaya, dan berbagai agama hidup bersama-sama. Kunci yang
bisa menyatukan pelbagai perbedaan ini adalah karena mereka menyepakati
falsafah negara, yaitu Pancasila. Melalui Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika
(berbeda-beda tapi tetap satu jua) dapat terwujud secara indah, hidup bersama
meski tak sama.
Tidak
mungkin kita bisa menjaga tanah air kita kalau masing-masing dari kita tidak
memiliki rasa cinta kepada tanah air. Nasionalisme adalah paham kebangsaan dan
cinta tanah air yang harus terpatri dalam sanubari setiap anak bangsa demi
menjaga semangat mempertahankan, siap berkorban dan berjuang demi bangsanya
sehingga tetap lestari. Selain itu, kemajemukannya baik di bidang agama, suku,
dan budaya dapat terpelihara menjadi kekuatan yang memperkokoh kedaulatannya.
Dengan demikian, tercipta suasana kehidupan yang damai, saling menghormati,
menghargai, melindungi dan mengasihi. Nasionalisme juga laksana ruh yang
menghidupkan identitas dan jati diri bangsa dalam kiprahnya di pentas
percaturan dunia, khususnya pada era globalisasi seperti saat ini.
Persatuan
adalah kunci kemakmuran, kunci kemajuan dan kunci untuk meraih kemaslahatan
bersama. Kepentingan bersama akan terwujud dengan kebersamaan dalam satu kata.
Jalan untuk meraih tujuan mulia mudah tercapai dan banyak manfaat yang dapat
diraih dari persatuan. Inilah pernyataan Hadrotussyaikh KH. Muhammad Hasyim
Asy’ari yang tertuang dalam Muqoddimah Qanun Asasi NU. Sebaliknya, perpecahan
adalah sumber kehancuran, sumber kehinaan bagi sebuah bangsa, dan kekalahan
sebuah negara.
Indonesia
mampu melawan penjajah bukan karena bangsa ini memiliki pengalaman perang yang
mumpuni, senjata yang canggih, atau bala tentara yang kuat perkasa. Indonesia
merdeka karena penduduknya memiliki tujuan bersama, yaitu menentukan nasib
bangsa secara merdeka dan tidak tunduk pada sistem lain ataupun kekuatan lain.
Bapak
pendiri bangsa, Ir. Soekarno menuturkan bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai cara
berjuang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Cara bangsa Indonesia
merumuskan konsepsi dan cita-cita nasionalnya tidak begitu saja mengekor pada
ideologi-ideologi dominan yang ada. Indonesia dibangun dari pengalamannya
sendiri, dari sejarahnya sendiri, sesuatu yang lebih sesuai dan jauh lebih
cocok. Sesuatu itu dinamakan “Pancasila”.
Mensyukuri
kemerdekaan adalah dengan mensyukuri persatuan dan kebersamaan yang selama ini
telah terjalin secara harmonis. Mensyukuri kemerdekaan adalah dengan menyadari
bahwa persatuan yang kita rasakan di tanah air ini merupakan nikmat dari Allah
yang sungguh luar biasa. Kita patut bersyukur atas nikmat berupa Indonesia,
tanahnya subur, kaya flora dan fauna, meski kaya budaya dan kaya peradaban,
masyarakatnya tetap rukun, saling menghargai dan saling tolong menolong demi
memajukan Indonesia. Mensyukuri kemerdekaan adalah dengan meyakini bahwa
dasar-dasar negara yang sudah dirumuskan merupakan rumusan yang terbaik dan
paling cocok untuk Indonesia. Manusia terbaik adalah yang pandai bersyukur,
bukan yang pandai menghujat dan merasa paling sempurna.
Salam 45,
M. Nailur Rochman, S.IP, M.Pd
Ketua PW MDS Rijalul Ansor Jawa Timur
M. Nailur Rochman, S.IP, M.Pd
Ketua PW MDS Rijalul Ansor Jawa Timur
Sumber : Ansor Jatim