Perhatian pemimpin besar seperti KH
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga tertuju pada kaum pekerja atau buruh.
Perlindungan dan pemenuhan hak-hak kaum buruh Gus Dur lakukan terhadap buruh di
dalam negeri maupun buruh migran atau tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Irham Ali Saifuddin (2014) yang aktif
sebagai salah seorang anggota Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat,
Gus Dur memiliki rekam jejak yang luar biasa terkait pembelaannya terhadap
kelas pekerja atau buruh. Pembelaan ini dilakukan Gus Dur secara konsisten jauh
hari sebelum dia menjadi Presiden RI hingga menjelang akhir hayatnya.
Dalam catatan aktivis buruh Muchtar
Pakpahan, misalnya, Abdurrahman Wahid menjadi salah satu tokoh sentral dalam
pertemuan nasional aktivis buruh pada 1992. Saat itu karena kebijakan
penyeragaman dan kontrol Orde Baru, hanya ada satu organisasi buruh yang
dibolehkan oleh pemerintah, yakni SPSI.
Menjadi penjamin dan inisiator
pertemuan di luar mainstream seperti itu tentu bukan perkara yang mudah bagi
Gus Dur. Menurut kesaksian Muchtar Pakpahan, arena pertemuan buruh tersebut
sudah dikepung oleh tentara. Dari pembicaraan handy talky (HT) Muchtar
mendengar intelijen melapor ke atasan bahwa “di dalam arena selalu ada gajah
yang tak pergi-pergi.” Sosok tersebut adalah Gus Dur. Ternyata pertemuan
tersebut tidak jadi dibubarkan dan melahirkan organisasi buruh baru, yakni
SBSI.
Sejak saat itu Muchtar dan SBSI yang
dipimpinnya dicap sebagai organisasi terlarang oleh rezim Orde Baru. Gus Dur
seringkali memberikan perlindungan kepada aktivis-aktivis buruh yang
dikejar-kejar aparat Orba saat itu. Bahkan, Muchtar Pakpahan seperti mendapat
waktu khusus di PBNU karena setiap saat berdiskusi dan melaporkan perkembangan
kepada Gus Dur yang saat itu menjadi Ketua Umum PBNU. Selain itu, problematika
para buruh migran juga dari dulu menjadi perhatian Gus Dur, terutama ketika
negara-negara Arab menjadi tujuan mereka bekerja. Agaknya tradisi budak masih
melekat dalam diri masyarakat Arab sehingga terkadang perlakuan mereka kepada
pekerja migran bukan sebagai orang yang dipekerjakan, tetapi seolah sebagai
budak yang bisa diperlakukan sewenang-wenang.
Melihat nasib TKI di negara-negara Arab, tepatnya di kawasan
Teluk, bukan hanya Arab Saudi, tetapi Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, dan
lain-lain, Gus Dur pada 2004 pernah memberikan pertimbangan kepada pemerintah
agar sementara menyetop pengiriman TKI ke kawasan tersebut. Namun, masukan Gus
Dur bukan tanpa pemberian solusi. Dalam salah satu tulisannya di Harian Sinar
Harapan edisi 8 Juni 20014 berjudul Melihat Nasib TKI di Arab, Gus Dur
mengatakan bahwa para pekerja migran harus dibekali keterampilan atau skill
sebelum diberangkatkan ke tempat tujuan bekerja. Namun hal itu tidak cukup
menurut Gus Dur, para TKI juga harus terdidik secara formal untuk kerja-kerja
yang mereka lakukan.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian
utama adalah perlindungan hukum bagi para TKI yang semakin lama semakin baik
agar hak-hak asasi manusia (HAM) mereka terjaga dengan baik. Atas perhatiannya
terhadap nasib para pekerja migran tersebut, Gus Dur merupakan sosok yang dekat
dengan mereka dan keluarganya. Anis Hidayah dalam buku Gus! Sketsa
Seorang Guru Bangsa (2017) mengungkapkan bahwa dalam beberapa kali pertemuan
dengan Gus Dur, keluarga pekerja migran masih sering memanggil Gus Dur dengan
sebutan ‘presiden’. Meskipun Gus Dur sudah menegaskan bahwa dirinya bukan lagi
presiden, tetapi bagi para keluarga pekerja migran, Gus Dur tetap presiden
meskipun tanpa istana. Dalam beberapa kali kunjungan ke daerah-daerah yang
menjadi basis pekerja migran, Anis Hidayah yang merupakan aktivis Migrant Care
menemukan poster Gus Dur tetap terpasang sebagai presiden di rumah mereka.
Kedekatan Gus Dur dengan pekerja
migran dan anggota keluarganya menjadi bukti nyata empati dan kepeduliannya
terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertindas (mustadh’afin). Setidaknya, itu
terbukti ketika terjadi deportasi massal di Malaysia pada 2005. Gus Dur dan
keluarganya dengan sangat terbuka menerima dan menampung para pekerja migran
yang menjadi korban deportasi dan tidak digaji. Mereka ditampung di Pesantren
Ciganjur yang didirikannya meskipun dari daerah yang berbeda. Bahkan kepada mereka
yang non-Muslim pun, Gus Dur memperlakukannya dengan cara yang berbeda. Gus Dur
memprotes keras kebijakan pemerintah Malaysia yang dianggap sering merugikan
kepentingan buruh migran. Ini ironis, mengingat Malaysia negara serumpun dengan
Indonesia tetapi perlakuan Malaysia kerap merugikan pekerja migran.
Bagi pekerja migran Indonesia, Gus Dur
juga memiliki kepedulian terhadap nasib mereka yang teraniaya. Anis Hidayah
juga mencatat, Gus Dur adalah Presiden Indonesia pertama yang melakukan
diplomasi tingkat tinggi antarkepala negara untuk melindungi warga negaranya
dari ancaman hukuman mati. Model diplomasi tersebut belum pernah dilakukan
presiden sebelum dan sesudah Gus Dur. Gus Dur juga dikenal paling peduli
terhadap keselamatan jiwa dan nasib buruh migran. Gus Dur selalu menempatkan
satu nyawa warga negara yang terancam di luar negeri sebagai pertaruhan
martabat bangsa. Irham Ali Saifuddin (2014) mencatat, pada 1999, ketika
seorang TKI asal Bangkalan Madura mendapatkan ancaman hukuman mati di Arab
Saudi, Gus Dur selaku Presiden RI turun tangan langsung dengan menulis surat
resmi kepada Raja Arab Saudi untuk keringanan hukuman.
Bahkan Gus Dur juga menelpon langsung
Sang Raja. Akhirnya hukuman mati dibatalkan oleh Raja, diperingan dengan
hukuman lainnya. Pembelaan Gus Dur terhadap TKI tidak berhenti setelah beliau
dilengserkan dari kursi kepresidenan. Beliau pernah menampung puluhan TKI yang
dideportasi dari Malaysia dan tidak mendapatkan gaji. Bukan saja menampung
mereka, Gus Dur bahkan melakukan lobi langsung untuk menyelesaikan gaji TKI
yang tidak dibayar.
Pembelaan terhadap TKI dari ancaman
hukuman mati juga pernah dilakukan oleh Gus Dur ketika seorang TKI asal Lombok
Tengah, Adi bin Asnawi mendapat vonis hukuman gantung dari pengadilan Malaysia.
Mendapatkan laporan dari keluarga Adi, Gus Dur langsung bertolak ke Malaysia
untuk menemui langsung Perdana Menteri Malaysia saat itu, Abdullah Badawi, guna
memperingan hukuman. Akhirnya Adi bisa menghirup udara tanah air pada tanggal 9
Januari 2010, satu minggu setelah Gus Dur wafat. Adi tidak sempat mengucapkan
terima kasih secara langsung kepada Gus Dur. Satu hal lagi yang tidak banyak
diketahui oleh publik adalah pembelaan Gus Dur terhadap hak-hak pekerja rumah
tangga (PRT) atau lebih sering disebut sebagai pembantu.
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon
Sumber: NU Online
SILAHKAN BACA JUGA !
-
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama melahirkan para pejuang yang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Meski para pahlawan dari NU dan p...
-
Nyai Hj. Umroh Mahfudzoh lahir pada 4 Februari 1936 M di Kabupaten Gresik. Beliau merupakan anak pertama dari Lima bersaudara, d...
-
Organisasi ini pada awalnya bernama Gerakan Pemuda Ansor disingkat GP Ansor sebagai kelanjutan dari Ansoru Nahdlatul Oelama (ANO), dalam ...
0 Komentar:
Posting Komentar
Mohon Saran dan Kritik Yang Sifatnya Konstruktif!