Sebagai salah satu tokoh arsitek Khittah NU 1926 dan juga
berperan penting dalam ikut merumuskan pondasi hubungan Islam dan Pancasila, KH
Achmad Siddiq Jember menyampaikan sebuah pidato usai terpilih sbagai Rais Aam
PBNU dalam Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo.
Berikut salah satu cuplikan pidato Kiai Achmad Siddiq yang
begitu berkesan bagi umat Islam Indonesia, khususnya Nahdliyin:
“Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya
final seluruh nation (bangsa), teristimewa kaum muslimin, untuk mendirikan
negara (kesatuan) di wilayah Nusantara. Para Ulama dalam NU meyakini bahwa
penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai
kemakmuran dan keadilan sosial.” (KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus
Mus, 2015)
Ada tiga poin penting dalam pernyataan Kiai Achmad Siddiq
tersebut.
Pertama, negara bangsa (nation state). Penerimaan para kiai
yang mumpuni dalam ilmu agama dan mempunyai jiwa nasionalisme tinggi terhadap
bentuk negara bangsa mempertegas bahwa Indonesia dengan mayoritas beragama
Islam bukanlah negara agama, tetapi negara bangsa yang memegang teguh
nilai-nilai agama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama dalam Pancasila.
Kedua, negara kesatuan di wilayah Nusantara atau dengan
istilah lain Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalangan pesantren,
santri dan kiai berkomitmen tinggi dalam menjaga keutuhan NKRI ini. Sebab
Indonesia didirikan di atas pondasi keberagaman atau kemajemukan bangsa yang
terbentang di 17.504 pulau, serta mempunyai 1.340 suku, dan 546 bahasa daerah.
Spirit memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia menjadi
pondasi kokoh bagi para ulama untuk terus menjaga dan merawat perjuangan dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasar Pancasila, Bhinneka
Tunggal Ika, dan UUD 1945.
Cinta terhadap tanah air Indonesia bukan semata cinta buta,
tetapi cinta yang dilandasi agama. Bahkan, Fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim
Asy’ari pada 22 Oktober 1945 menyatakan dengan tegas bahwa membela Tanah Air
merupakan kewajiban agama. Dalam menjaga NKRI tersebut, NU sebagai jam’iyyah
diniyyah ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan) seperti dipertegas Kiai
Achmad Siddiq di atas, bukan ’penjaga biasa’, melainkan memperkuat dan merajut
berbagai elemen bangsa untuk menyadari bahwa cinta tanah air merupakan salah
satu upaya aktualisasi nyata keimanan seseorang.
Sehingga cinta tanah air berlaku untuk seluruh kaum
beragama di Indonesia. Ini dicetuskan langsung oleh pendiri NU KH Hasyim
Asy’ari yang menyatakan, hubbul wathon minal iman (cinta tanah air adalah
sebagian dari iman).
Ketiga, penerimaan Pancasila oleh NU untuk mencapai
kemakmuran dan keadilan sosial. Ada dua catatan sejarah penting dalam Muktamar
NU 1984 di Situbondo, ialah NU kembali ke Khittah 1926 dan penerimaan Pancasila
sebagai asas tunggal organisasi. Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal ini
pertama kali dilakukan oleh NU.
Bukan semata menyukseskan program rezim Orde Baru, tetapi
lebih kepada misi bahwa Pancasila sebagai konsensus kebangsaan perlu dipertegas
menjadi pondasi kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai
kemakmuran dan keadilan sosial seperti yang dimaksud Kiai Achmad Siddiq.
Sumber : NU Online