Sebenarnya, ia ingin menghubungi orangtuanya. Namun, niat itu ia urungkan. Ia tahu persis bahwa orangtuanya akan tambah panik jika tahu dirinya sakit. Kepanikannya bertambah kala orangtuanya harus mencari pinjaman untuk berangkat menemui anaknya dan membiayai pengobatannya tersebut. Bocah kecil ini hidup dengan sederhana. Sejak berangkat di pesantren, ia harus rela makan hanya dengan menggunakan lauk ikan asin dan kecap, baik sarapan, makan siang, maupun makan malam. Ia sangat hidup prihatin.
Setelah sampai di RSKI (Rumah Sakit Kasih Ibu) ia mendaftarkan diri dan antre di depan ruang praktik dokter. Tak lama antre dan diperiksa ia mendapatkan resep dan segera menuju ke apotik rumah sakit lantai dua itu. Yang namanya orang berobat, dan orang sakit yang ia pikirkan hanyalah berobat. Saat namanya dipanggil dan disebutkan jumlah uang yag akan harus dibayar, bocah kecil itu makin cemas. Obat yang harus ia tebus seharga Rp. 50.000, tapi yang ada di kantong saku celananya hanya Rp. 15.000,.
Ia mencoba menawar. Pegawai apotik menghitung ulang. Lalu, menyebutkan angka Rp. 27.000. Bocah kecil ini kebingungan. Ia meminta maaf karena hanya membayar Rp. 15.000. Kemudian, ia keluakan semua uang yang ada di saku celananya. Ia makin lemas. Ternyata, uangnya tinggal Rp. 10.000. Ia lupa uang yang Rp. 5.000, sudah digunakan untuk membayar pendaftaran tadi. Ia semakin pucat. Matanya mulai membasah. Sementtara itu, beberapa pasang mata pasien lain memperhatikannya.
Di tengah kekacauan pikirannya, tiba-tiba sebuah tangan memegang pundaknya. “Kurang berapa, Dik?” suara dari seorang laki-laki muda, ramah, dan lembut. Seketika, laki-laki itu terlibat pembicaraan dengan pelayan apotik. Laki-laki itu, lantas menyeodorkan sejumlah uang dan segera pergi. Rupanya, ia dan istrinya baru saja mengobati bayinya. Tak lama kemudian, beberapa plastik obat telah ada dalam genggaman tangan si bocah. Tanpa sempat mengucapkan terima kasih, ke pemuda itu, ia hanya diberikannya kartu nama. Tertulis sebuah nama khas Solo yang titel di depan Ir, (insinyur).
Enam tahun berlalu, bocah kecil yang telah lulus Madrasah Aliyah itu datang ke rumah sang insinyur. Laki-laki itu sudah tak mengenali lagi. Ia baru paham setelah bocah itu bercerita bagaimana ia bisa datang ke rumahnya yang cukup besar tersebut.
Kini, setelah dua puluh satu tahun terlewati, insinyur itu pasti tidak ingat lagi dengan kejadian di apotik, di lantai dua Rumah Sakit Kasih Ibu. Ia pasti tidak lagi punya memori tentang bocah kecil itu. Akan tetapi bocah kecil itu tak pernah melupakan kejadian itu meski telah dua puluh satu tahun berlalu. Ia tetap dan akan terus mengingat dengan bantuan kecil itu. Tak akan terhapus dari memori bocah kecil itu tentang sosok laki-laki muda, istri dan bayinya itu. Bahkan, ia berpikir bahwa shodaqah kecil insinyur itu adalah satu mata rantai awal. Ia berkeinginan menyambungnya dengan mata rantai kedua. Kebaikan insinyur itu akan ia balas. Kepada insinyur ia akan membalas, tapi kepada orang lain yang membutuhkan
0 Komentar:
Posting Komentar
Mohon Saran dan Kritik Yang Sifatnya Konstruktif!